Buat kamu pejuang PTN yang tengah bersiap jauh-jauh hari buat UTBK, selain belajar materi ujian, tentunya kudu tahu hal-hal yang berkaitan dengan UTBK termasuk cara penilaian. Setidaknya cukup tahu apakah UTBK menggunakan sistem minus kayak jaman dulu SPMB 2000-an awal atau UMPTN era 90-an? atau punya cara lain?
Hah?! sistem minus? kayak apa, Kang?
Tenang-tenang, sistem minus itu sudah kadaluarsa kok. Jadi gini, jaman 70an atau 80an, seleksi masuk PTN dengan nama SKALU, PP, SIPENMARU, UMPTN dan sebagainya dulu menggunakan sistem minus. Jawaban BENAR dapat poin +4, SALAH -1 dan KOSONG dapatnya 0. Tujuannya sih biar peserta tidak “menembak” jawaban seenaknya. Dampaknya, banyak banget soal-soal yang akhirnya dikosongkan. Ya daripada dapat minus kan?
Mulai tahun 2018, era SBMPTN terakhir (masih belum dikelola LTMPT), sistem penilaian mulai diubah. Dan tetap dipertahankan oleh LTMPT pada pelaksanaan UTBK 2019, 2020 dan 2021 lalu. Diperkenalkan model penilaian Item Response Theory (IRT) atau Teori Respon Butir (TRB) yang berarti meniadakan sistem minus.
Model apalagi tuh, Kang?
IRT adalah sistem penilaian yang menekankan pembobotan pada masing-masing butir soal dalam setiap subtes. Pembobotan nilai didasarkan pada tingkat kesulitan pada tiap soal ujian, di mana tingkat kesulitan soal sendiri bergantung pada respon jawaban peserta yang mengerjakan tes dalam satu gelombang yang sama. Dengan kata lain, apabila soal-soal yang dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar peserta UTBK, maka bobot nilai dari soal-soal tersebut menjadi rendah. Sebaliknya, soal yang lebih banyak dijawab secara salah oleh peserta atau bahkan banyak dikosongkan, maka bobot nilai dari soal tersebut menjadi tinggi.
Dengan sistem IRT, LTMPT tidak serta merta menghitung jawaban benar dan salah tapi juga mempertimbangkan tingginya bobot nilai dari soal dengan tingkat kesulitan tinggi yang pembobotannya bergantung pada respon jawaban peserta. Metode IRT ini sudah banyak diterapkan di berbagai Negara terutama oleh negara maju seperti Amerika dan Eropa. Dengan memberikan nilai berbeda untuk setiap soal dengan karakteristik yang berbeda, dianggap lebih adil dan mampu mengukur kemampuan peserta jauh lebih baik.
Jika semakin sedikit peserta yang menjawab suatu soal dengan BENAR, maka nilainya semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya.
Sistem penilaian IRT sepenuhnya bergantung pada respon jawaban peserta, akibatnya diperlukan waktu tersendiri untuk mengolah data tersebut. Itulah mengapa sertifikat nilai yang dikeluarkan oleh LTMPT tidak langsung diperoleh siswa sesaat setelah ujian. Biasanya butuh waktu beberapa hari untuk LTMPT merilis nilai tersebut. Demikian juga yang KONSTANTA Education lakukan saat pelaksanaan Try Out Nasional 7 Nopember 2021.
Ya, Try Out Nasional lalu, KONSTANTA melakukan simulasi penilaian berbasis IRT. Berikut ini contoh penampakan nilai yang diperoleh peserta TO Ranking 1 dan 2 kelompok Saintek maupun Soshum. Sengaja dicantumkan juga nilai awal sebelum diolah menggunakan penilaian IRT.
Nilai awal sebelum IRT adalah nilai perkiraan bobot tiap soal. Pemberian nilai awal diberikan peserta try out mendapat pegangan awal perkiraan nilai yang bisa mereka dapat. Nilai tersebut secara instan akan langsung muncul di akun try out masing-masing peserta. Untuk keperluan proyeksi nilai dan konsultasi serta evaluasi, nilai awal tersebut sudah cukup representatif meskipun ketika dibandingkan dengan hasil pengolahan IRT seperti yang nampak dari data hasil Try Out di atas, ada deviasi alias perbedaan nilai. Tapi deviasinya masih dalam batas toleransi kok. Ga usah khawatir ya.
Emang kenapa bisa beda gitu Kang? Nilai aku hasil IRT nya malah jadi makin kecil, rugi dong!!!
Hehehe… kayak jual beli aja pake untung rugi. Deviasi antara nilai awal dengan hasil IRT pasti terjadi. Tidak selalu menyebabkan nilai IRT jadi lebih kecil dibandingkan terhadap nilai awal. Ada lho yang nilai IRT nya malah lebih besar daripada nilai awal. Kenapa bisa begitu ya?
Kita lihat data lain hasil try out ya.
Lihat nilai 2 peserta kelompok saintek di atas. Peserta ranking 10, nilai subtes Pengetahuan Kuantitatif dan subtes Fisika hasil IRT lebih besar daripada nilai awal. Peserta ranking 347, nilai subtes Bahasa Inggris dan Pengetahuan Kuantitatif hasil IRT lebih besar daripada nilai awal. Data itu menjadi jawaban bahwa hasil IRT tidak selalu menyebabkan nilai menjadi kecil. Kenapa bisa begitu?
Nilai-nilai yang kamu peroleh menjadi lebih kecil jika soal-soal yang berhasil kamu jawab dengan BENAR ternyata dijawab dengan BENAR juga oleh mayoritas peserta, akibatnya bobot nilai yang diperoleh menjadi kecil. Sementara yang nilai IRT nya membesar, berarti soal-soal yang berhasil dijawab adalah soal-soal yang secara data statistika masuk kategori soal-soal sulit, sehingga bobotnya besar.
Lihat lagi data peserta kelompok soshum di bawah.
Peserta dengan ranking 110 mendapat limpahan nilai dalam subtes Pengetahuan Kuantitatif. Peserta ranking 588 dapat limpahan nilai lebih besar menurut IRT dalam lebih banyak subtes yaitu Penalaran Umum, Pemahaman Bacaan & Menulis dan Bahasa Inggris. Jadi tidak selalu mengecil kan gara-gara IRT?
Tapi, percuma aja kamu dapat soal-soal dengan nilai-nilai besar tapi jumlah BENAR nya hanya sedikit kan?
Jadi bagaimana dong strateginya Kang?
Ya tetap saja, prinsipnya tidak akan pernah berubah sejak jaman dahulu kala juga, hehehe… Jawab soal dengan BENAR sebanyak-banyaknya, emang bagaimana lagi coba?
Yaaah… SUSAH Kang. Gimana dong?
Lah, udah tahu susah tapi masih aja rebahan, terus pengen masuk PTN di kampus dan jurusan impian pula… bagaimana bisa?
Tenang,… ada solusinya. Bahas lain waktu ya. Yang penting sekarang sih jangan lelah belajar apalagi belajarnya kalah sama BTS mulu. Hayo mendingan keren nampang di BTS tapi terlewat sama PTN gara-gara skip belajar demi BTS? atau tetep keren di BTS tanpa skip belajar supaya tampil keren juga dipampang di pengumuman masuk PTN?
Kuy Gaess… Ubah “MaGer” lo dari Males Gerak jadi Mau Gerak!
Leave a Reply